atau
atau
BAB I
PENDAHULUAN
Penderitaan kata yang dapat dikatakan dihindari setiap orang. Tentunya tak ada manusia yang ingin menderita. Apalagi menjadi seorang yang mati demi mempertahankan iman, mungkin saat ini sudah sangat sulit ditemukan atau bahkan tak ada lagi. Berangkat dari keingin tahuan kami memberanikan diri membahas makalah ini. Apa yang menjadi alasan para Rasul Tuhan memilih menderita dan mati martir?, bagimana merka berusaha tetap setia pada Yesus dalam penderitaan kejam yang mereka terima. Hanya sekedar gelar sebagai Martir atau apakah harus demikian. Berikut kami akan membahas mengenai Penderitaan sebagai dasar menjadi seorang Martir.
Katekismus menyatakan, “Martirium adalah kesaksian teragung yang dapat diberikan orang untuk kebenaran iman; itulah kesaksian sampai mati”. Daripada mengingkari imannya, seorang martir lebih suka memberikan kesaksian dengan kebesaran hati yang luar biasa akan keyakinan bahwa Kristus menderita sengsara, wafat dan bangkit dari antara orang mati demi keselamatan kita, dan akan kebenaran iman kristen kita. Kata martir sendiri berarti “saksi”.
Kitab Suci mencatat kisah-kisah kepahlawanan baik dari laki-laki maupun perempuan yang lebih suka mati sebagai martir daripada mengingkari iman mereka atau tidak setia pada hukum Allah. Dalam Perjanjian Lama, Susana lebih suka mati daripada menyerahkan diri pada hasrat dosa kedua hakim yang fasik (Daniel 13). Yohanes Pembaptis menolak untuk berkompromi dengan kejahatan dan tak hentinya memaklumkan hukum Allah; hingga pada akhirnya ia “memberikan nyawanya sebagai saksi kebenaran dan keadilan.”
Dengan berbesar hati memikul salib, seorang Kristiani akan beroleh berkat dalam pandangan Tuhan. Dalam Sabda Bahagia, sikap hidup yang benar, yang mendatangkan rahmat persatuan dengan Tuhan, dinyatakan dalam Sabda Bahagia kedelapan, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Lebih lanjut, Yesus mempertegasnya, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” Walau demikian, tujuan utamanya bukanlah sekedar menderita di sini dan sekarang ini demi iman, melainkan kebesaran hati dan ketekunan yang menghantar orang pada hidup yang kekal, “Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga” (bdk Mat 5:10-12).
BAB II
APA ITU MARTIR (PENDERITAAN RASUL-RASUl KRISTUS)
A. Defenisi Martir dan Penderitaan
Sebelum membahas mengenai Martir secara lebih dalam, pertama kami membahas definisi penderitaan. Penderitaan menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti keadaan yang menyedihkan yangg harus ditanggung, Penderitaan berasal dari kata derita dari bahasa sansekerta dhar yang artinya menahan atau menangung. Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan itu dapat berbentuk lahir atau batin, keduanya termasuk penderitaan ialah keluh kesah, kesengsaraan, kelaparan dan lain-lain.
Sedangkan kata Martir berasal dari bahasa Inggris Martyr dan berasal dari bahasa Yunani Martureo yang artinya “Saksi”. Istilah Martir menunjuk pada orang-orang yang mengalami aniaya dan meninggal karena mempertahankan keimanannya terhadap Yesus Sang Mesias. Istilah Martir menunjuk orang yang mengalami aniaya dan mati karena mempertahankan keimanan bukan membela keimanan. Kisah Rasul 7:54-8:1A
Menurut definisi sekarang ini, seorang martir adalah seseorang yang meninggal karena imannya. Sayangnya, karena definisi ini kita kehilangan arti yang sesungguhnya dan yang dalam mengenai dunia martir. Santo Agustinus pernah berkata bahwa, “Penyebabnya bukan penderitaan, yang menjadikan seseorang menjadi martir yang sejati.” Martir yang dalam bahasa Yunani berarti “Seseorang yang mengingat, dan memiliki pengetahuan tentang kebenaran tersebut.” Secara literal berarti seorang “Saksi.”
Konsep yang berkembang dalam perjanjian baru sebagai seseorang yang dapat memberikan kesaksian mengenai kehidupan dan kuasa Yesus Kristus. “(Yohanes) datang sebagai saksi (marturia) untuk memberikan kesaksian tentang terang itu, supaya oleh Dia semua orang menjadi percaya”- Yohanes 1:17 ; dan, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi (martus)-Ku di Yerusalem, dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”- Kisah Para Rasul 1:8
Martir Perjanjian Baru bukan hanya seorang yang menyaksikan kebenaran dan kuasa Yesus Kristus untuk pribadinya, namun juga seseorang yang diperintahkan untuk memberikan kesaksian itu kepada orang lain, berapapun harga yang harus dibayar. Dalam kisah Para Rasul pasal selanjutnya, kita dapat membaca tentang Stefanus yang dilempari batu. Peristiwa ini menjadikannya sebagai orang pertama yang membayar harga tertinggi karena memberikan kesaksian. Mulai saat inilah kata Martir memiliki arti yang lebih kuat karena seseorang tidak hanya menjadi saksi tetapi karena seseorang juga berkemauan memberikan hidupnya untuk menjadi martir karena alasan memberikan kesaksian
Sepanjang perkembangan jemaat mula-mula, konsep martir terus berkembang menjadi “Seseorang yang memberikan kesaksian dibawah ancaman ,” dan “Seseorang yang meneladani Kristus.” Saat Pollycarp dibunuh oleh penguasa Roma pada abad kedua (dijatuhi hukuman dibakar hidup-hidup), ia diakui sebagai seseorang yang hidupnya telah menjadi teladan iman dalam Kristus Yesus. Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada jemaat di Smirna, Pollycarp diberi gelar sebagai “Martir” sebab meninggal oleh karena imannya.
Kesimpulannya, definisi seorang martir Kristen adalah “Seseorang yang memilih menderita sampai mati dari pada menyangkal Kristus atau karya-Nya; yang mengorbankan sesuatu yang sangat penting untuk melebarkan Kerajaan Allah ; dan, yang bertahan dalam penderitaan yang hebat karena menjadi saksi Kristus.”
B. Penjelasan Istilah Teologi Penderitaan
Istilah “Teologi Penderitaan” dipakai dalam dua pengertian. Pertama, istilah ini dapat merujuk pada paham yang mengharuskan setiap orang Kristen untuk menderita selama di dunia supaya memperoleh kekayaan dan kebahagiaan sorgawi. Kedua, istilah ini juga seringkali digunakan dalam arti pandangan Alkitab (konsep Teologis) tentang berbagai seluk-beluk penderitaan. Pengertian yang kedua tersebut mencakup diskusi seputar asal-usul penderitaan, kaitan penderitaan dengan eksistensi Allah (apakah penderitaan membuktikan bahwa Allah tidak ada atau tidak baik?), tujuan penderitaan dalam perspektif Teologi tertentu maupun penjelasan tentang mengapa orang-orang benar mengalami penderitaan.
Dua pengertian di atas sebenarnya sangat berhubungan. Gaya hidup menderita dan menghindari semua kesenangan didasarkan pada konsep Teologis tertentu tentang penderitaan. Sebaliknya, konsep Teologis seseorang tentang penderitaan akan mempengaruhi cara dia menanggapi penderitaan atau kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam makalah ini fokus pembahasan hanya diarahkan pada Teologi Penderitaan dalam arti yang pertama.
BAB III
PENDERITAAN Sebagai MARTIR
Menurut KISAH PARA RASUL 7:54-60
1. Penderitaan sebagai Martir menurut Kisah Para Rasul 7:54-60
Kisah Para Rasul 7:1-42, menguraikan tentang pidato Stefanus di depan mahkamah agung mengenai kehidupan bangsa Israel. Stefanus menggambarkan keadaan nenek moyang yang pada zaman musa hidup dengan menolak Allah, saat Musa diutus Allah membawakan hukum taurat bagi mereka. Mereka beribadah bukan kepada Allah tetapi kepada para Allah, mereka bahkan menolak membangun kemah suci.
Pasal 7:51-53, apa yang dengan perantaraaan Musa telah difirmankan oleh Allah kepada para nenek moyang, diulangi stefanus dalam ayat-ayat ini, mereka yang menerima janji Allah tetapi hidup seperti orang kafir. Mereka menutup hati mereka terhadap Roh Allah.
Pasal 7:54-60, Stefanus seorang terdakwa dalam pidatonya menggambarkan kelakuan para Mahkamah Agung seperti kelakuan nenek moyang. Yang kemudian membuat marah para sanhedrin. Suatu pertentangan terjadi antara Stefanus yang membawa kerajaan terang tentang janji-janji Allah dengan kerajaan si jahat yang tidak percaya kepada penggenapan janji Allah dalam kedatanganNya sebagai Mesias.
Kebencian dan kasih sebagai penyataan antara kerajaan sijahat dan terang tergambarkan dengan jelas. Kemarahan sanhedrin dan rakyat yang membabi buta membuat mereka lupa akan segala penguasaan diri. Mereka membunuh stefanus dengan menyeret dan melemparinya, meskipun pemerintah romawi memutuskan hukuman mati sebagai haknya. Stefanus mati setelah Ia memohon agar rohnya diterima, kemudian memohon keampunan bagi orang-orang lain (7:59-60). Kata mati menunjuk kepada suatu kata dalam PB yang hanya dipergunakan bagi kematian orang-orang beriman.
Stefanus adalah orang mati martir(sahit) pertama dari Gereja Kristen. Kis 7
:54-60, menguraikan tentang penderitaan Stefanus yang dalam keadaan hidup dan mati sebagai Martir, tetap mempertahankan iman percayanya, dan menjadi saksi kristus. Gambara tentang bagaimana Stefanus dalam tahanannya dan dalam hukuman matinya masih mengalami persekutuan dengan Tuhan dan JuruslamatNya. Kisah Para Rasus 7 menunjukkan : a) kepercayaan stefanus kepada Yesus, b) kesaksiannya bagi Yesus, c) pandangannya kepada Yesus, d) penderitaanya karena Yesus, e) doanya kepada Yesus, f) kematiannya dalam Yesus.
Jadi, penderitaan sebagai martir menurut Kisah Para Rasul 7:54-60, yaitu suatu keadaan baik dalam hidup dan sampai keaadan mati menanggung siksaan, rela dianiaya karena mempertahankan iman kepada Kristus demi suatu kehidupan yang lebih baik dalam Kristus.
Dalam arti khusus sang Juruslamat senantiasa menjaga para murid-muridNya, yang menderita dan bersaksi bagi Dia. Dalam pada itu tidak selamaNya Tuhan Yesus meniadakan perjuangan dan penderitaan bagi para muridNya, tetapi apa yang dilakukanNya ialah melalui segala perjuangan dan penderitaan membawa mereka kepada kemuliaan Allah. Dalam pada itu pula Tuhan Yesus mengajar kita supaya memikirkan baiik-baik bahwa seorang hamba tidak melebihi tuannya. “jiakalau mereka telah menganiaya aku, mereka juga akan menganiaya kamu.”
2. Stefanus, Tokoh Martir Krsiten dan Penderitaan dalam Kekristenan
Sebagian besar dari kita mungkin telah menikmati keuntungan atau kenyamanan sebagai umat Kristiani sehingga kita seringkali melupakan orang-orang percaya yang penuh keberanian yang sedemikian banyak telah mempertaruhkan hidupnya demi Kekristenan. Darah para martir/saksi itu telah mengairi ladang, menghasilkan tuaian, dan mempercepat pertumbuhan kekristenan di seluruh dunia.
Orang kedua yang menderita dan mati bagi gereja adalah Stefanus, yang namanya berarti “mahkota” (Kisah Para Rasul 6-8 ). Ia menjadi martir karena memberitakan Injil kepada orang-orang yang telah membunuh Yesus dengan setia. Kebencian yang sama akibat kebencian mereka terhadap Stefanus menyebabkan timbulnya penganiayaan besar terhadap semua orang yang mengaku percaya kepada Kristus sebagai Mesias. Lukas mencatat, “Pada waktu itu mulailah penganiayaan yang hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria.” (Kisah Para Rasul 8:1).
Satu-satunya sumber informasi terpercaya tentang Stefanus adalah Kisah Para Rasul bab 6 dan 7. Di dalamnya Stefanus ditampilkan sebagai orang beriman yang kokoh dan penuh Roh Kudus dan salah satu orang yang diangkat oleh Keduabelasan untuk memangku jabatan diakon atau pelayan meja, barangkali sebagai pengurus rumah tangga jemaat. Ia, seorang Kristen Yahudi yang tinggal di Yerusalem dan bisa berbahasa Yunani. Ia pandai berpolemik dan sangat radikal dalam pandangannya mengenai tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga Yahudi. Ketika berada di hadapan Sanhendrin, ia dengan tegas membantah semua tuduhan kaum Farisi dan membela karya misionernya di antara orang-orang Yahudi. Pembelaannya diperkuat dengan mengutip kata-kata Kitab Suci yang melukiskan kebaikan hati Yahweh kepada Israel dan ketidaksetiaan Israel sebagai “bangsa terpilih” kepada Yahweh. Oleh karena itu, ia diseret ke luar tembok kota Yerusalem dan dirajam sampai mati oleh pemimpin-pemimpin Yahudi yang tidak mampu melawan hikmatnya yang diilhami Roh Kudus.
Senjata utama untuk melawan musuhnya ialah cintanya akan Tuhan. Cinta itu demikian kuat mendorongnya untuk bersaksi tentang Kristus meskipun ia harus menghadapi perlawanan yang kejam dari musuh-musuhnya. Bahkan sampai saat terakhir hidupnya di dalam penderitaan sekian hebatnya, ia masih sanggup mengeluarkan kata-kata pengampunan ini: “Tuhan, janganlah dosa ini Engkau tanggungkan kepada mereka itu.”
Laporan tentang pembunuhan Stefanus itu menyatakan bahwa Saulus (yang kemudian menjadi Paulus, Rasul bangsa kafir) hadir di sana dan memberi restu terhadap pembunuhan itu. Namun apa yang terjadi atas Saulus di kemudian hari? Sebagai pahala besar bagi Stefanus ialah bahwa Saulus musuhnya yang utama serta penghambat ulung Gereja, bertobat dan menjadi Paulus, Rasul terbesar bagi kaum kafir. Stefanus wafat sebagai martir, kira-kira pada tahun 34.
Penderitaan dalam Kekristenan
Sejak awal Kekristenan, penderitaan telah menjadi bagian integral dari kehidupan Yesus, para Rasul maupun Gereja mula-mula. Yesus hidup dalam kemiskinan (Luk 2:24; Mat 8: 20//Luk 9:58; Mat 17:24-27). Dia ditolak oleh kaum keluarga (Mar 3: 21; Yoh 7:5), orang-orang di kampung halaman (Mat 13:57//Mar 6:4; Yoh 4:44) maupun bangsa-Nya sendiri (Yoh 12:37-41). Hidup-Nya pun berakhir tragis di kayu salib karena kebencian orang-orang Yahudi terhadap diri-Nya. Dia ditolak oleh milik-Nya sendiri (Yoh 1:11).
Penderitaan ini terus berlanjut pada diri para Rasul yaitu Stefanus dan Yakobus dibunuh karena iman mereka (Kis 7:54-60; 12:1-2), Petrus, Paulus dan pemberita Injil yang lain beberapa kali mendekam di penjara (Kis 4:3; 12:4-11; Kis 16:23-40; 24:27; Flp 1:12-14). Paulus pernah menjelaskan berbagai macam penderitaan yang dia alami dalam pelayanan (2Kor 11:23-28). Yohanes diasingkan ke Pulau Patmos (Why 1:9). Menurut Tradisi Gereja, semua Rasul – kecuali Yohanes – mati sebagai martir.
Orang Kristen secara umum juga menghadapi ancaman penganiayaan. Kaisar Nero (54-68 M) mengkambinghitamkan orang Kristen dalam kasus pembakaran kota Roma (yang diyakini banyak orang justru merupakan inisiatif Nero). Penganiayaan besar lainnya terjadi pada zaman Kaisar Domitian (81-96 M). Penganiayaan yang paling luas terjadi sejak tahun 250 M melalui keputusan Kaisar Decius dan Diocletian (antara tahun 100-250 M) penganiayaan menjadi lebih sistematis dan terorganisasi.
Penganiayaan yang bermula pada zarnan Kaisar Nero, pada waktu Rasul Paulus mati syahid, berlangsung terus dengan semakin kejam atau kurang selama berabad-abad. Orang-orang Kristen dituduh dengan tuduhan palsu melakukan kejahatan yang mengerikan, dan dinyatakan sebagai penyebab bencana besar seperti bahaya kelaparan, wabah dan gempa bumi. Mereka dituduh sebagai pemberontak yang melawan kerajaan, sebagai musuh agama, dan sebagai wabah bagi masyarakat. Banyak yang dilemparkan kepada binatang buas, atau dibakar hidup-hidup di amfiteater. Sebagian disalibkan, yang lain dibungkus dengan kulit binatang liar dan dilemparkan ke arena untuk dicabik-cabik oleh anjing-anjing ganas. Hukuman mereka sering dijadikan hiburan utama pada pesta-pesta umum. Orang banyak berjubel menikmati tontonan itu, mereka tertawa serta bertepuk tangan menyaksikan korban yang sedang menderita menghadapi maut.
Ke mana saja pengikut Kristus mencari perlindungan, mereka terus diburu sepeti binatang mangsa. Mereka terpaksa mencari persembunyian di tempat-tempat terpencil yang tidak ada orang. "Kekurangan, kesesakan dan siksaan. Dunia ini tidak layak bagi mereka. Mereka mengembara di padang gurun dan di pegunungan, dalam gua-gua dan celah-celah gunung" (Ibrani 11:36-38). Katakomb-katakomb (kuburan di bawah tanah) dimanfaatkan menjadi tempat persembunyian beribu-ribu orang. Di bawah bukit-bukit di luar kota Roma, terowongan panjang telah digali di dalam tanah dan batu. Jaringan lorong-lorong gelap dan rumit dibuat bermil-mil di luar tembok kota. Di tempat pengasingan bawah tanah inilah pengikut-pengikut Kristus menyembunyikan orang mati mereka. Dan di sini jugalah mereka berlindung bilamana mereka dicurigai dan dipersalahkan mengenai sesuatu. Bilamana Pemberi Hidup itu membangkitkan mereka yang telah melakukan perjuangan yang baik, banyaklah orang-orang yang telah mati syahid demi Kristus yang akan keluar dari gua bawah tanah yang suram itu.
Meskipun mengalami penganiayaan yang paling kejam, saksi-saksi Yesus ini tetap memelihara iman mereka tidak tercemar. Meskipun jauh dari segala kesenangan, tertutup dari sinar matahari, dan tinggal di dalam gelap di dalam tanah, mereka tidak mengeluh sedikit pun. Dengan kata-kata iman, ketabahan dan pengharapan mereka menguatkan satu sama lain untuk menanggung penderitaan dan kekurangan dan kesesakan. Kehilangan berkat-berkat duniawi tidak bisa memaksa mereka untuk menyangkal iman mereka pada Kristus. Pencobaan dan penganiayaan hanyalah langkah-langah yang membawa mereka semakin dekat kepada perhentian dan upah mereka.
Beberapa teks Alkitab yang dianggap mengajarkan penderitaan,
Alkitab mengajarkan bahwa penderitaan merupakan bagian integral dari status sebagai orang Kristen. Syarat mengikut Yesus adalah salib/kematian (Mat 16:24-25) dan meninggalkan segala sesuatu (Mat 19:21//Mar 10:21//Luk 18:22; Luk 14:26, 33). Pengikut Yesus tidak boleh takut dengan kematian (Mat 10:28; Yoh 12:24-26) atau penganiayaan (Luk 21:12-19), karena dunia memang pasti akan membenci mereka (Yoh 15:18-21). Yesus beberapa kali mengecam orang kaya, baik dalam interaksi-Nya dengan mereka (Mat 19:24//Mar 10:25//Luk 18:25; Mar 12:41-44) maupun dalam perumpamaan-perumpamaan yang Ia berikan (Luk 16:19-31). Ia memperingatkan para pengikutnya untuk mewaspadai ketamakan (Mat 6:19-24; Luk 12:15-21). Ia bahkan menyebut orang-orang miskin (Mat 5:3//Luk 6:20) dan teraniaya (Mat 5:12) sebagai orang yang berbahagia. Para Rasul juga mengajarkan bahwa penderitaan dipakai Tuhan untuk mendatangkan kebaikan (Rom 8:28) supaya orang Kristen semakin dewasa dan teruji di dalam Tuhan (Rom 5:3-4; Yak 1:2-4; 1Pet 1:7-8).
BAB IV
RELEFANSI PADA MASA KINI
Penderitaan Orang Beriman Saat Ini
A. Apakah orang Kristen Harus Menderita?
Pertanyaan ini sebenarnya sangat sulit dijawab dengan gamblang. Di satu sisi Alkitab mencatat beberapa tokoh Alkitab yang secara jasmani tidak menderita. Allah bahkan beberapa kali menjanjikan kebahagiaan secara jasmani, misalnya memiliki keturunan (Kej 1:28), kemakmuran (Kej 12:1-3), posisi yang dihormati (Ul 28:13). Beberapa tokoh Alkitab hidup dalam kecukupan jasmani, misalnya Abraham (Kej 12:1-3; 13:1-2; 24:35), Ishak (Kej 26:13), Salomo (1Kor 10). Dalam Perjanjian Baru beberapa pengikut Yesus adalah orang kaya, misalnya perempuan-perempuan yang mendukung pelayanan-Nya (Luk 8:2-3), Yusuf Arimatea (Mat 27:57),
Apa yang dikecam oleh Alkitab bukanlah kekayaan jasmani pada dirinya sendiri. Uang, kesehatan dan jabatan adalah sesuatu yang netral. Semuanya adalah milik dan berasal dari Tuhan (1Taw 29:11-12). Seandainya materi pada dirinya sendiri adalah jahat, maka Tuhan pasti tidak akan memberikan yang jahat itu kepada Abraham, Ishak, Salomo dan tokoh Alkitab lain (band. Mat 7:9-10). Kalau materi itu jahat, maka Tuhan tidak akan memberikan perintah kepada umat-Nya agar memuliakan Dia dengan harta mereka (Ams 3:9).
Ketika Yesus memberikan perintah kepada murid-murid untuk meninggalkan segala sesuatu – termasuk harta dan keluarga – hal itu tidak berarti bahwa mereka benar-benar melepaskan dan tidak menggubris hal itu lagi. Yesus sendiri tetap memperhatikan keluarga-Nya (Yoh 19:27). Ia memperhatikan ibu mertua Petrus (Mat 8:14). “Meninggalkan segala sesuatu” di sini berbicara tentang prioritas hidup. Pengikut Yesus harus membenci keluarga mereka (Luk 14:26) dalam arti “tidak mengasihi mereka sampai melebihi kasih kepada Kristus” (Mat 10:37). Pengikut Yesus tidak boleh mengasihi jiwa mereka melebihi mereka mengasihi Tuhan (Mat 10:28; 16:24-25), tetapi bukan berarti mereka semua harus mati martir bagi Tuhan (Yoh 21:21-22). Pendeknya, semua orang Kristen harus menempatkan Tuhan sebagai prioritas pertama dan satu-satunya dalam hidup serta harus selalu siap apabila semua yang dimiliki diambil dari dirinya. Dan tentunya rela menderita demi mempertahankan iman.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab
Brink. H. 2003. Kisah Para Rasul. Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Ira. C. 2001. Semakin dibabat Semakin Merambat. Jakarta, BPK Gunung Mulia
John Foxe.2001. Foxes Book of Martyrs. Yogyakarta, Penerbit Andi.